Peluang dan Tantangan Industri Asuransi Syariah Kembangkan Asuransi Hijau
Asuransi hijau di Indonesia masih didominasi oleh pembeli korporasi dan pemerintah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peluang industri asuransi syariah untuk mengembangkan produk asuransi hijau dinilai cukup besar. Menurut Peneliti Ekonomi Syariah Indef Fauziah Rizki Yuniarti, praktik asuransi hijau sebenarnya sudah ditawarkan lama di Indonesia dengan nama catastrophe insurance.
Asuransi hijau biasanya memberikan manfaat perlindungan terhadap bencana alam seperti asuransi kebakaran, asuransi banjir, asuransi gempa bumi, hingga asuransi budidaya. Asuransi hijau di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pembeli korporasi dan pemerintah.
Peluang membuat asuransi hijau sangat besar, terlebih lagi Indonesia baru saja merevisi Nationally Determined Contribution (NDC) menjadi Enhanced NDC (ENDC) yang mengubah dari target 29 persen menjadi 32 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen menjadi 43 persen dengan bantuan internasional.
“Sehingga asuransi hijau sebagai salah satu instrument hijau, akan membantu pemerintah mencapai target tersebut,” kata Fauziah kepada Republika.co.id, Jumat (25/11/2022).
Menurut Fauziah, terdapat lima peluang pengembangan produk green insurance yang berhubungan dengan Paris Agreement dan ENDC. Pertama, produk Environmental liability insurance (ELI) yang merupakan salah satu produk insuransi hijau yang paling laku di dunia.
Kedua, asuransi untuk kendaraan berbahan dasar energi/listrik (energy vehicles/electric vehicles/EV) yang menargetkan pembeli individu/retail, contohnya asuransi untuk baterai mobil. Ketiga, asuransi terhadap proyek hijau.
Keempat, asuransi premium untuk green building/green projects. Terakhir, carbon credit insurance (asuransi kredit karbon) seiring dengan carbon trading market yang meningkat.
Adapun tantangan utama dari pengembangannya adalah pertama, literasi asuransi yang masih rendah. Survey Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (2022) dari OJK menunjukkan bahwa literasi keuangan nasional meningkat menjadi 49,68 persen (2022) dari sebelumnya 38,03 persen (2019), tetapi literasi asuransi hanya 19,4 persen (2019) dan asuransi syariah hanya 3,99 persen (2019).
Kedua, industri asuranai akan menghadapi tantangan green washing. Ini merupakan praktik yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang ada untuk mengkomodifikasi segala hal yang berbau green sedangkan praktiknya tidak.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini