Korban Badai Nalgae di Filipina Khawatir Tsunami
Dalam foto ini disediakan oleh Penjaga Pantai Filipina, penyelamat menggunakan perahu untuk mengevakuasi penduduk dari daerah banjir akibat Badai Tropis Nalgae di Parang, provinsi Maguindanao, Filipina selatan pada hari Jumat 28 Oktober 2022. Air banjir dengan cepat naik di banyak desa dataran rendah, memaksa beberapa penduduk desa untuk naik ke atap mereka, di mana mereka diselamatkan oleh pasukan tentara, polisi dan sukarelawan, kata para pejabat.
Foto: Philippine Coast Guard via AP
Ratusan orang di pesisir pantai mengira gelombang pasang adalah tsunami
REPUBLIKA.CO.ID, MANILA – Ratusan orang di pesisir pantai mengira gelombang pasang adalah tsunami dan berbondong-bondong menuju tempat yang lebih tinggi dan bahkan ada yang mengubur diri dengan batu. Mereka adalah korban tanah longsor yang dipicu badai Nalgae di Filipina yang pernah dihancurkan oleh tsunami beberapa tahun lampau.
Sekurangnya 18 jasad, termasuk anak-anak ditemukan oleh tim penyelamat di gundukan berlumpur yang menutupi sebagian besai desa Kusiong di provinsi Maguindanao selatan. Juru bicara dan kepala pertahanan sipil pemerintah daerah Naguib Sinarimbo mengatakan, para pejabat khawatir 80 hingga 100 orang lagi, termasuk seluruh keluarga, mungkin telah terkubur oleh banjir atau hanyut di Kusiong antara Kamis malam dan Jumat pagi.
Hingga Ahad (30/10/2022) banjir Nalgae telah menewaskan sekurangnya 61 orang di delapan provinsi dan satu kota di kepulauan Filipina termasuk Kusiong. Bencana di Kusiong, tempat bagi kelompok etnis minoritas Teduray dinilai sangat tragis. Sebab, lebih dari 2.000 penduduk desanya telah melakukan latihan kesiapsiagaan bencana setiap tahun selama beberapa dekade untuk bersiap menghadapi tsunami karena sejarah yang mematikan.
“Tapi mereka tidak siap menghadapi bahaya yang bisa datang dari Gunung Minandar, di mana desa mereka terletak di kaki bukit,” kata Sinarimbo.
“Ketika orang-orang mendengar bel peringatan, mereka berlari dan berkumpul di sebuah gereja di tempat yang tinggi,” kata Sinarimbo. “Masalahnya, bukan tsunami yang menggenangi mereka, tetapi air dan lumpur yang turun dari gunung dalam volume besar,” imbuhnya.
Pada Agustus 1976, gempa bumi berkekuatan 8,1 SR dan tsunami di Teluk Moro melanda pada tengah malam. Akibatnya ribuan orang tewas dan menghancurkan provinsi pesisir oleh bencana alam paling mematikan dalam sejarah Filipina.
Terletak di antara Teluk Moro dan Gunung Minandar (446 meter), Kusiong adalah salah satu yang paling terpukul oleh bencana 1976 dan desa itu tidak pernah melupakan tragedi itu. Penduduk desa tua, yang selamat dari tsunami dan gempa bumi yang kuat, menyampaikan kisah mimpi buruk kepada anak-anak mereka sambil memperingatkan mereka untuk bersiap-siap.
“Setiap tahun, mereka mengadakan latihan untuk mengantisipasi tsunami. Seseorang ditugaskan untuk membunyikan bel alarm dan mereka menunjuk tempat tinggi di mana orang harus lari, ”kata Sinarimbo. “Warga desa bahkan diajari suara ombak besar yang mendekat berdasarkan ingatan para penyintas tsunami.”
“Tapi tidak ada banyak fokus pada bahaya geografis di lereng gunung,” katanya.
Buldoser, backhoe dan payloader dibawa ke Kusiong pada Sabtu dengan lebih dari 100 penyelamat dari tentara, polisi dan sukarelawan dari provinsi lain. Namun mereka tidak dapat menggali di tempat di mana para penyintas mengatakan gereja berada di bawahnya karena gundukan berlumpur masih berbahaya.
Badan tanggap bencana nasional melaporkan 22 orang hilang akibat serangan badai di beberapa provinsi. Sinarimbo mengatakan banyak orang hilang di Kusiong tidak termasuk dalam penghitungan resmi pemerintah karena seluruh keluarga mungkin telah terkubur dan tidak ada anggota yang tersisa untuk memberikan nama dan rincian kepada pihak berwenang.
Banjir menggenangi banyak provinsi dan kota, menjebak beberapa orang di atap mereka, dan lebih dari 700 rumah rusak. Lebih dari 168 ribu orang mengungsi ke kamp-kamp pengungsian. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menyatakan belasungkawa mendalam atas tingginya korban jiwa dalam pertemuan yang disiarkan televisi dengan para pejabat mitigasi bencana Sabtu.
“Kami seharusnya melakukan yang lebih baik. Kami tidak bisa mengantisipasi volume air sebanyak itu sehingga kami tidak bisa memperingatkan warga dan kemudian mengevakuasi mereka agar terhindar dari banjir bandang yang akan datang,” kata presiden.
Sekitar 20 topan dan badai melanda kepulauan Filipina setiap tahun. Negara Asia ini terletak di “Cincin Api” Pasifik, sebuah wilayah di sepanjang sebagian besar tepi Samudra Pasifik di mana banyak letusan gunung berapi dan gempa bumi terjadi yang menjadikan negara ini salah satu yang paling rawan bencana di dunia.