Hampir Satu Tahun Invasi, Rusia Kehilangan Strategi
Tim penyelamat bekerja di lokasi gedung apartemen yang dihantam roket Rusia di Kramatorsk, Ukraina, Kamis (2/2/2023).
Foto: AP Photo/Yevgen Honcharenko
Ruska kini fokus untuk merebut kota-kota kecil di Ukraina timur.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pendiri Pusat Komunikasi Strategis (CSC) di bawah Kementerian Kebudayaan dan Kebijakan Informasi Ukraina, Liubov Tsybulska mengatakan, Rusia gagal menduduki kota-kota penting di Ukraina, termasuk Kiev setelah hampir satu tahun melangsungkan invasi. Menurut Tsybulska, Rusia sudah tidak punya strategi untuk merebut wilayah Ukraina sehingga mereka menyerang dengan menghancurkan infrastruktur penting.
Pada awal invasi, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan ingin menduduki Kiev dalam waktu tiga hari. Namun hingga invasi berlangsung hampir satu tahun, Rusia tidak dapat menduduki Kiev. Tsybulska mengatakan, Rusia bahkan tidak dapat menduduki Kherson sepenuhnya karena pasukan Ukraina telah berjuang dengan gigih untuk merebutnya kembali.
Menurut Tsybulska, Ruska kini fokus untuk merebut kota-kota kecil di Ukraina timur. Serangan di Ukraina timur cukup intens namun Rusia seperti kehilangan strategi.
“Rusia hanya meraih kamenangan kecil (dengan menduduki kota-kota di luar Kiev), karena gagal raih kamenangan besar, Rusia mulai menyerang infrastruktur penting seperti listrik dan air,” ujar Tsybulska dalam diskusi di Foreign Policy Community of Indonesia, Senin (6/2/2023).
Tsybulska mengatakan, Rusia mengungkapkan narasi bahwa ini adalah perang Rusia melawan Barat. Karen Barat terus menerus memasok alat militer kepada Ukraina. Namun Tsybulska menepis pernyataan tersebut. Menurutnya warga Ukraina akan tetap berjuang membela negara mereka dengan bantuan militer Barat maupun tanpa bantuan militer.
Tsybulska mengatakan, Rusia telah melanggar hukum internasional dengan menyerang Ukraina yang merupakan negara demokratis. Jika Rusia dibiarkan menang, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan menduduki dan menjajah negara lainnya.
Rusia menyerang Ukraina karena ingin menghancurkan identitas negara tersebut dan memperluas wilayah kekuasaannya. Tsybulska mengatakan sekitar lebih dari satu juta orang dipaksa dideportasi ke Rusia. Selain itu, Rusia juga memisahkan anak-anak dari orang tua mereka dan membawanya ke Moskow.
“Ini bentuk penjajahan, Rusia telah melanggar hukum internasional. Kami (rakyat Ukraina) ingin hidup di negara yang bebas dan merdeka,” kata Tsybulska.
Sementara itu, Profesor Politik Komparatif di National University of Kyiv-Mohyla Academy (UKMA), Olexiy Haran, mengatakan, sebelum pencaplokan Krimea oleh Rusia pada 2014, Ukraina adalah negara nonblok. Sebagian besar rakyat Ukraina tidak mau bergabung dengan NATO atau Uni Eropa.
Namun setelah pencaplokan Krimea, situasinya berubah. Kini, 90 persen warga Ukraina justru mendukung negara mereka bergabung dengan NATO dan Uni Eropa karena mereka membutuhkan jaminan keamanan.
Haran menjelaskan, sebelum Rusia mencaplok Krimea pada 2014, sebagian besar warga Ukraina memiliki penilaian dan kepercayaan yang positif terhadap Rusia. Namun setelah peristiwa pada 2014 dan ditambah dengan invasi pada Februari 2022, tingkat kepercayaan warga Ukraina terhadap Rusia menurun.
“Kami memperjuangkan kebebasan dan demokrasi,” ujar Haran.