Benjamin Netanyahu Buka Peluang untuk Kembali Jadi PM Israel
Pemimpin partai Likud, Benjamin Netanyahu, membuka peluang untuk kembali menduduki kursi perdana menteri Israel.
Foto: EPA-EFE/JACK GUEZ / POOL
Benjamin Netanyahu unggul dalam hasil penghitungan sementara pemilu di Israel
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Pemimpin partai Likud, Benjamin Netanyahu, membuka peluang untuk kembali menduduki kursi perdana menteri Israel. Hal itu karena blok sayap kanannya unggul dalam hasil penghitungan sementara pemilu di sana.
Saat berita ini ditulis, Rabu (2/11/2022), Komite Pemilihan Pusat Israel sudah menghitung 20,7 persen dari total surat suara. Blok Benjamin Netanyahu untuk sementara unggul. Berdasarkan penghitungan tersebut, Netanyahu dan koalisinya bisa mengamankan 72 dari total 120 kursi di parlemen Israel (Knesset). Namun karena hanya memimpin sementara dan seluruh surat suara belum dihitung, kalkulasi perolehan kursi dapat berubah.
Tak hanya di penghitungan resmi, blok sayap kanan Netanyahu pun unggul dalam exit poll. Blok Netanyahu diperkirakan mengamankan 62 kursi di parlemen. Jumlah itu cukup untuk menguasai mayoritas dan membentuk koalisi di Knesset.
Saat berbicara di hadapan para pendukungnya, Netanyahu memuji Likud sebagai partai terbesar di Israel. Dia berjanji, jika hasil jajak pendapat dan penghitungan cepat paralel dengan hasil akhir resmi, dia akan membentuk pemerintahan nasional yang menjaga seluruh warga Israel tanpa terkecuali. “Karena negara ini adalah milik kita semua,” ujar Netanyahu, dikutip laman Times of Israel.
“Kami akan memulihkan keamanan, kami akan memotong biaya hidup, kami akan memperluas lingkaran perdamaian lebih jauh, kami akan memulihkan Israel sebagai kekuatan yang meningkat di antara bangsa-bangsa. Kita memiliki satu negara, satu takdir, satu masa depan,” kata Netanyahu menambahkan.
Dia pun berjanji akan mengembalikan kebanggaan nasional yang telah direnggut. Dalam pidatonya, Netanyahu turut menegaskan bahwa Israel adalah negara Yahudi. “Orang-orang menginginkan negara Yahudi, negara yang menghormati warganya, Tapi ini adalah negara Yahudi. Negara nasional kita, yang kitaReligious Zionism impikan dan perjuangkan, dan tumpahkan lautan air mata dan darah untuk dicapai,” ucapnya.
Dalam pidatonya, Netanyahu tidak merinci tentang partai mana yang berada dalam koalisi. Namun mereka diperkirakan terdiri dari sekutu alami Likud, yakni Religious Zionism, ultra-Ortodoks Shas, dan United Torah Judaism.
Netanyahu adalah tokoh yang paling lama menjabat sebagai perdana menteri Israel, yakni selama 12 tahun berturut-turut. Pemerintahannya berakhir pada Juni tahun lalu. Ketika itu, Knesset memberikan suara untuk menentukan apakah mereka mendukung pemerintahan koalisi baru pimpinan Naftali Bennett dan Yair Lapid.
Hasilnya, dari total 120 anggota, 60 di antaranya memberikan dukungan, sementara 59 lainnya menolak. Meski selisihnya sangat tipis, hasil itu mengakhiri masa jabatan Netanyahu. Pada masa pemerintahan Netanyahu, Israel, dengan bantuan mediasi Amerika Serikat (AS), berhasil mencapai kesepakatan normalisasi diplomatik dengan empat negara Arab, yakni Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Sudan, dan Maroko.
Normalisasi itu bisa dibilang merupakan pencapaian monumental dalam karier politik Netanyahu. Sebab pemulihan hubungan dengan empat negara Arab itu sebenarnya memunggungi Prakarsa Perdamaian Arab. Dalam prakarsa itu, negara-negara Arab menyatakan, mereka hanya akan menjalin atau membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika Palestina merdeka dan Yerusalem Timur menjadi ibu kotanya.