Angka Kemiskinan 2022 Mirip 2017, DPR: Banyak Error
Permukiman padat penduduk di sekitar Sungai Code, Yogyakarta, Kamis (19/1/2023). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa Jawa per September 2022. BPS melaporkan persentase penduduk miskin di DIY per September mencapai 11,49 persen. Meski demikian, jumlah ini menurun jika dibandingkan pada Maret 2022 yakni 11,34 persen.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Selisih angka 220 ribu orang saja sejak 2017 sangat tidak signifikan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Anis Byarwati menilai, penanganan kemiskinan cenderung stagnan. Ia merujuk jumlah penduduk miskin September 2022 masih sebesar 26,36 juta orang, tidak jauh berbeda dari September 2017 sebesar 26,58 juta orang.
Artinya, selisih penurunan penduduk miskin hanya 220.000 orang. Anis menilai, angka 220 ribu orang saja tidak signifikan. Merujuk Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin September 2022 capai 26,36 juta orang atau 9,57 persen.
Angka ini meningkat 0,20 juta orang dibandingkan Maret 2022 dan menurun 0,14 juta orang terhadap September 2021 (yoy). Terkait stagnasi penanganan kemiskinan tersebut, ia menyoroti ketiadaan program yang terpusat kepada satu lembaga.
Selain itu, akurasi data masih menjadi persoalan mendasar yang dihadapi dalam pemberian bantuan atau penyaluran program. Pengentasan kemiskinan tidak terpusat satu lembaga setara kementerian/lembaga khusus yang langsung dipimpin presiden.
“Hal ini berdampak terhadap proses koordinasi dan pencapaian target pengurangan angka kemiskinan. Masih banyak exclusion error dan inclusion error dalam data perlindungan sosial, sehingga tidak tepat sasaran,” kata Anis, Senin (7/2/2023).
Ia menuturkan, kemiskinan didominasi oleh persoalan struktural. Kelompok ini terdiri dari petani yang tidak memiliki tanah pribadi atau petani kepemilikan lahan yang kecil. Sehingga, hasilnya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Struktur sosial masyarakat yang tidak memiliki akses atau mobilitas vertikal untuk menguasai sarana ekonomi dan fasilitas merata jadi persoalan tersendiri,” ujar Anis.
Anis menegaskan, kemiskinan harus mendapat perhatian secara fundamental dari negara. Ini termaktub pada pasal 34 Ayat 1-4 UUD Negara Republik Indonesia 1945. Adapun isinya, satu fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dua, negara mengembangkan sistem jaminan sosial rakyat dan memberdayakan rakyat lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan. Tiga, negara bertanggung jawab penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Empat, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal diatur dalam UU. Adapun UU yang khusus mengatur tentang penanganan fakir miskin adalah UU 13/2011. Dalam aturan tersebut, turut disebutkan tentang penanganan-penanganan fakir miskin.
Satu, penanganan terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemda. Dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan pemberdayaan, pendampingan, fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
“Dua, kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan/atau pelayanan sosial,” kata Anis.